Singkong atau ketela biasanya dijadikan masyarakat sebagai bahan dasar membuat tiwul atau oyek. Sementara ubi racun hanya bisa dimakan setelah diolah menjadi sagu.
“Masyarakat sudah enggan menjadikan ladang mereka untuk menanam singkong atau ketela. Sebagian lahan masyarakat saat ini ditanam ubi racun yang tidak bisa diolah menjadi oyek atau tiwul. Ubi racun hanya bisa dimanfaatkan setelah diolah. Kalau belum diolah ubi racun mengandung racun yang membayahakan,” ungkap Hariyanto (47) warga Bungamayang, OKU Timur.
Menurut Hari, menurunnya animo masyarakat untuk menanam singkong dan ketela membuat harga tiwul melambung.
Saat ini harga tiwul mencapai hingga Rp 7.500 per kilogramnya.
Harga tersebut, kata dia, hampir menyamai beras super yang dijual di pasaran sekitar Rp 8.500 per kilogramnya.
Tiwul, kata dia, merupakan makanan masyarakat tempo dulu. Meski terkesan kuno, namun sebagian masyarakat masih menggemari memakan tiwul karena rasanya yang khas.
“Biasanya masyarakat tetap memakannya meskipun mereka memiliki ekonomi menengah. Masyarakat yang memakan tiwul bukan berarti mereka tidak mampu untuk hidup layak. Mereka memang sudah hobi dan gemar untuk memakannya,” ujarnya.
Menurut Hari, saat ini sangat sulit untuk mencari tiwul. Kalaupun ada, harganya sudah mulai naik menyamai harga beras.
Langkanya masyarakat membuat tiwul tersebut, kata dia, disebabkan keengganan masyarakat menanam singkong atau ketela.
“Sebagian masyarakat kalau tidak menanam jagung menanam ubi racun. Memang pemasarannya lebih mudah ubi racun. Setelah siap panen, masyarakat hanya memanggil pembeli dan langsung mendapatkan uang. Berbeda dengan tiwul yang harus melalui sejumlah proses baru bisa dijual,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment